Lantai Rumah Tidak Menyentuh Tanah
Leluhur penduduk Wae Rebo membuat aturan bahwa rumah tidak boleh menyentuh tanah. Untuk itu, semua Mbaru Niang berbentuk rumah panggung dengan kolong setinggi 1 meter. Kolong tersebut biasa difungsikan sebagai rumah ternak, tempeta menyimpan kayu atau barang lainnya, dan untuk tempat menenun.
Tingkatan Rumah Adat Mbaru Niang
Setiap rumah Mbaru Niang memiliki tujuh tingkatan, yang masing-masing tingkatan memiliki fungsi yang berbeda, yaitu:
Sejarah rumah adat NTT
Dari sejarahnya, rumah adat Musalaki dipercaya sebagai rumah adat asli masyarakat suku Ende Lio. Penamaan rumah adat Musalaki ini berasal dari sebuah kata dalam bahasa Ende Lio; Mosa.
Mosa bermakna sebagai “ketua”, dan Laki yang berarti “adat”, sehingga rumah Musalaki disepakati sebagai sebuah rumah yang dijadikan tempat tinggal utama Kepala Suku masyarakat suku Ende Lio.
Tingkat Keempat / Lemba Rae
Tingkat keempat adalah Lemba Rae, yang digunakan sebagai tempat penyimpanan stok makanan untuk berjaga-jaga bila terjadi gagal panen atau kekeringan akibat musim kemarau.
Tingkat Kelima / Hekang Kode
Pada tingkat tertinggi atau kelima yang disebut Hekang Kode, digunakan sebagai tempat sesajian untuk para leluhur mereka.
Setelah mengenal lebih jauh tentang seluk beluk rumah adat suku Manggarai, apakah kamu tertarik untuk mengunjunginya langsung?
Untuk yang ingin lebih praktis, IndonesiaJuara Trip menyediakan paket wisata Private Trip ke Wae Rebo selama 2 hari 1 malam. Di dalam paket wisata kami, sudah dipersiapkan segala kebutuhan untuk pergi ke Wae Rebo seperti transport, makanan, dan tentunya tour guide lokal yang siap menjelaskan setiap pertanyaanmu dan membantu kamu selama perjalanan.
Tempat penjemputan paket wisata Wae Rebo adalah di Labuan Bajo.
Selain ke Wae Rebo, di hari kedua kamu akan diajak ke Cancar untuk melihat pemandangan sawah berbentuk jaring laba-laba.
Yuk, cek Paket Wisata Wae Rebo dari IndonesiaJuara Trip sekarang!
Baca juga: Keunikan Pulau Komodo, Wisata Wajib di Indonesia
JAKARTA - Rumah adat merupakan salah satu bentuk interpretasi budaya daerah setempat yang kaya dengan keunikan, sejarah dan filosofinya. Salah satu rumah adat yang terdapat di Indonesia yaitu rumah adat Nusa Nenggara Timur (NTT).
NTT adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terdiri dari beberapa pulau. Provinsi ini juga memiliki banyak keragaman. Keragaman tersebut terdiri dari suku hingga rumah adat. Beberapa suku yang dapat kita jumpai di Nusa Tenggara Timur adalah suku Antoni, Belu, Lamaholot dan lain-lain.
Setiap suku memiliki desain dan bentuk rumah adat yang unik masing-masing. Satu jenis rumah adat yang terdapat di NTT dibagi menjadi beberapa bagian rumah.
Gaya struktur rumah adat ini juga bermacam-macam dan memiliki ciri khas tersendiri. Bahkan setiap struktur bagian rumahnya mempunyai fungsi dan makna yang khusus.
Rumah adat di wilayah NTT biasanya berbentuk rumah panggung dengan struktur agak persegi atau persegi panjang. Berbeda dengan rumah adat Timor Timur yang memiliki bentuk bulat seperti telur dan tidak terdapat tiang.
Beberapa hunian tradisional pada rumah adat ini pada dasarnya dibedakan dari segi model atau bentuk atap rumahnya, antara lain:
Beberapa hunian rumah adat tersebut tetap memiliki kesamaan meskipun bentuk atapnya berbeda-beda. Persamaannya terdapat pada tersedianya tempat khusus yang diyakini sebagai tempat suci untuk para arwah nenek moyang. Pada waktu-waktu tertentu, tempat istimewa tersebut diberikan sesaji.
Bentuk Rumah Adat Suku Tetun dan Maknanya
Secara umum, suku Tetun memiliki karakteristik rumah yang berbentuk panggung dengan atap layaknya perahu terbalik. Menariknya, atap tersebut cukup besar hingga beberapa dari atap rumah suku Tetun menjulur sampai ke tanah.
Rumah adat atau rumah tradisional suku Tetun disangga oleh dua tiang utama yang diletakkan di pusat rumah adat (di tengah). Kedua tiang ini paling tinggi dan memiliki diameter yang paling besar dari tiang-tiang lainnya
Tiang-tiang tersebut diambil dari kayu dengan kualitas terbaik dengan kriteria harus lurus dan “tidak pernah disentuh oleh tangan manusia” artinya tidak ada bekas kapak. Biasanya tiang ini diambil dari hutan suci.
Setelah ritual penebangan selelsai, kedua tiang ini diarak dengan tari-tarian, seruan-seruan, nyanyian menuju lokasi rumah adat.
Menurut kepercayaan suku Tetun, dua tiang tersebut melambangkan nenek moyang laki-laki (bei mane) dan nenek moyang perempuan (bei feto) dari klan tersebut. Oleh karena itu, saat tiang ini hendak ditegakan, wajib diperlakukan sebagai seorang manusia.
Kedua tiang itu dihiasi dengan pakaian adat lengkap ketika hendak ditegakkan dengan diiringi pukulan gendang dan tarian.
Rumah adat suku Tatun memiliki tata ruangnya berbentuk persegi atau persegi panjang. Biasanya, rumah adat suku Tetun memiliki tiga ruang utama, yakni kolong, ruang tengah, dan loteng.
Umumnya dinding rumah adat menggunakan papan dari kayu. Pada dinding ini diberi ukiran yang menyimbolkan pesan tertentu. Ukiran terssebut dapat berupa makanan pokok sehari-hari, misalnya padi, jagung, umbi-umbian, dan hewan kurban; beberapa hewan, seperti buaya (leluhur/ nai bei), ayam jantan (simbol kejantanan/ meo), cicak (peramal); hingga motif payudara perempuan yang melambangkan kehidupan dan kesuburan.
Bentuk rumah adat suku Tetun turut menggambarkan status sebuah klan dalam struktur masyarakat. Misalnya, di dalam etnis Tetun terdapat rumah adat Raja (uma na’i), rumah pembantu raja (uma vetor), rumah bawaan raja (uma dato), dan rumah rakyat biasa (uma renu) dengan ciri khas berbeda.
Pada rumah adat yang berukuran besar, misalnya rumah adat raja (uma na’i atau uma metan) disertakan juga anyaman bambu bergaya mahkota di bagian atap paling ujung dan sebuah teras di bagian depan rumah adat sebagai tempat pertemuan.
Selain itu, ada pula rumah adat dengan pembagian tiga fungsi di Desa Wehali, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yakni uma timur (rumah tinggal), uma lulik (rumah adat), dan uma kakaluk (rumah pengobatan).
Semua rumah adat ini mesti berperan dalam menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan dalam struktur masyarakat suku Tetun.
Atap Kerucut Terbuat dari Daun Lontar
Yang mencolok dari penampilan rumah adat Mbaru Niang adalah bentuknya yang kerucut setinggi 15 meter, dengan atap yang terbuat dari daun lontar yang ditutupi dengan ijuk yang menjuntai hingga hampir menyentuh tanah.
Mbaru Niang memiliki atap kerucut karena merupakan simbol perlindungan dan persatuan antar masyarakat Wae Rebo. Sedangkan alasnya yang berbentuk lingkaran merupakan simbol harmonisasi dan keadilan antar masyarakat dan keluarga.
Tingkat Ketiga / Lentar
Lentar atau tingkat ketiga dari Mbaru Niang berfungsi sebagai tempat penyimpanan benih-benih tanaman mereka, seperti kacang-kacangan, padi, dan jagung. Tingkat ini berdiameter sekitar 9 meter.
Tingkat Pertama / Lutur
Tingkat pertama dalam Mbaru Niang berfungsi sebagai tempat tinggal dan tempat berkumpul keluarga. Tingkat yang disebut sebagai Lutur ini memiliki diameter 11 meter.
Bangunan Kayu Tanpa Paku
Kontruksi bangunan Mbaru Niang dibuat dari kayu warok dan bambu namun disatukan tanpa paku melainkan diikat dengan kuat menggunakan tali rotan.